Pengertian
Fast Food atau Makanan Cepat Saji selama ini telah mengaburkan
pandangan saya mengenai esensi dari organisasi Slow Food yang sejujurnya
saya (awalnya) menolak mentah –mentah untuk beralih ke Slow Food.
Seperti yang saya kutip pada laman Wikipedia.com,
yang mengartikan bahwa makanan cepat saji sebagai makanan yang dapat
disiapkan dan dilayankan dengan cepat. Sehingga makanan apapun yang
dapat disiapkan dengan segera dapat dikategorikan sebagai makanan cepat
saji. Merujuk pada pengertian tersebut, saya memandang makanan seperti
telor ceplok, gado – gado, rujak, dan sebagainya sebagai fast food,
dikarenakan makanan tersebut diproses dengan cepat (fast cooking) dan
disajikan pun dengan cepat (fast service), sehingga ini menimbulkan
pemikiran dibenak saya, kenapa fast food dipandang begitu buruk? Kalau
bisa sehat dan dapat diproses serta disajikan dengan cepat, bukannya
akan memberikan nilai plus? Saya melihat, bahwa orang – orang berpikir
keliru dan mengategorikan semua makanan yang termasuk fast food juga
junk food .Padahal mereka didefinisikan dengan amat berbeda. Wikipedia.com,
mendefinisikan junk food sebagai istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan makanan yang tidak sehat atau memiliki sedikit kandungan
nutrisi. Makanan minim nutrisi mengandung jumlah lemak yang besar.
Sepertinya, tidak perlu saya sebutkan contoh – contoh junk food, saya
bertaruh kalian sudah tau jawabannya he - he.
Apa yang ingin saya sampaikan adalah tidak semua fast food itu buruk atau tidak semua fast food itu junk food. Anggapan ini menentang saya menerima konsep slow food yang saya kira makanan harus diproses lambat (slow cooking) dan mungkin disajikan dengan lambat juga (slow service). Anggapan sempit itu kemudian membenamkan pemikiran saya pada sesuatu yang lebih baik, yang lebih mulia, dan yang lebih berperikemusiaan. Logo dari organisasi Slow Food ini, yaitu siput, sebenarnya telah menjawab segala pertanyaan kalian mengenai apa itu Slow Food. Layaknya siput yang bergerak lambat, apa makanan harus diproses dan disajikan dengan lambat? Jawabannya adalah Tidak, bukan lambat yang tepat mendeskripsikan Slow Food melainkan tidak terburu – buru, apa bedanya? Anggapan saya bahwa lambat karena hal itu memang lambat, dan tidak memiliki kemampuan untuk bergerak cepat. Sedangkan tidak terburu – buru, walaupun kita bisa bergerak cepat namun kita tidak ingin bergerak cepat dan lebih kepada menikmati momen kini, menikmati proses. Begitulah esensi Slow Food, kalian diminta untuk memproses dan menyajikan makanan tidak terburu – buru dan lebih menikmati proses pembuatan makanan tersebut dan efeknya kalian lebih menghargai makanan itu. Contohnya, kalian membiarkan sayuran atau hewan ternak itu tumbuh secara alami tanpa menaburkan pestisida pada tanaman supaya Ia cepat tumbuh (organic farm) atau menyuntikkan hormone kegemukan pada hewan ternak itu sehingga bobotnya bertambah (bukan daging yang bertambah tetapi lemaknya-seperti fast food yang junk food). Kedua, kalian memproses makanan dengan menikmati pengolahan makanan. Seperti yang kalian mungkin sudah tau bahwa restoran cepat saji yang junk food itu memproses hewan ternak dengan cara tidak berperikemanusiaan, mereka tidak menyembelih hewan – hewan itu secara berperikemanusian melainkan mereka lebih menyukai cara penyiksaan sebelum membunuh hewan itu. Cara penyiksaan sungguh sangat keji : hewan ternak itu dibanting ke lantai atau ke dinding berkali – kali atau langsung dilemparkan ke mesin penggiling daging (tanpa dimatikan terlebih dahulu). Sehingga, dapat dibayangkan bagaimana tersiksanya hewan –hewan itu sebelum mati. Selain itu, kalian tidak tau bagian yang mana yang terkandung dalam daging yang kalian santap, karena bisa saja kalian telah memakan jeroan, kotoran, kuku, gigi dan beberapa bagian yang seharusnya dibuang. Intinya kita memproses makanan itu dengan lebih berperikemanusian. Ketiga, saat menyantap makanan pun kita tidak diminta terburu – buru, layaknya di restoran cepat saji (antrian sudah panjang hehe), kunyalah makanan secara perlahan hingga benar –benar lunak. Kenapa hal ini penting?, dengan makanan yang kunyah dengan perlahan (hingga benar – benar lunak) akan memudahkan perut kita untuk mencernanya lebih lanjut sehingga dikatakan akan mengurangi risiko obesitas.
Slow Food penuli akan tiga hal yang menjadikan filosofi organisasi ini, yakni: Good, Clean, and Fair. Good berarti makanan itu terasa enak dan segar serta merupakan bagian dari budaya lokal. Clean bermakna makanan itu diproduksi tanpa menggunakan bahan-bahan kimia yang mencemari lingkungan. Fair berarti harus ada keadilan dalam proses produksi atau cara mendapatkan makanan tersebut. Makanan yang masuk kategori Slow Food sudah pasti organik karena tidak menggunakan bahan kimia seperti pupuk kimia atau pestisida. Namun, tidak semua makanan organik masuk kategori Slow Food karena harus juga memenuhi konsep fair. Konsep fair dalam gerakan Slow Food diterjemahkan sebagai keadilan untuk semua. Pertama, keadilan untuk konsumen dan produsen. Artinya, dari sisi harga, bahan pangan tidak boleh dijual terlalu mahal sehingga memberatkan konsumen, namun juga tidak boleh terlalu murah karena bisa mematikan usaha produsen atau petani. Dan saya sangat tertarik untuk membangun sistem yang fair untuk produsen dan konsumen ini.
Begitulah kira – kira kawan – kawan yang ingin saya sampaikan mengenai slow food ini, saya menulisnya dengan apa adanya dan terburu - buru. Tujuan saya membuat tulisan ini, saya setuju dengan Slow Food dan saya sudah bertekad untuk memasuki organisasi ini (yang sebelumnya saya bimbang). Saya peduli apa yang saya makan, asal makanan, bagaimana pemrosesannya, dan menyantapnya. Sungguh kita selama ini tidak peduli dengan apa yang kita santap, asal makan saja. Makanan sesuatu yang sangat penting, sebelum seperti zaman sekarang, pada zaman batu dulu manusia hanya memikirkan pada apa yang bisa dimakan dan bagaimana mendapatkannya, namun dengan bertambahnya keinginan, perhatian terhadap makanan berkurang, asal perut kenyang itu tadi. Makanan memberikan efek pada kesehatan batin, sehingga orang mengambil sikap bahwa apabila kita mengonsumsi yang baik – baik kita akan menjadi pribadi yang baik dan sehat. Apakah kita masih tidak peduli pada apa yang kita makan? Tidakkah kita berpikir berkali – kali untuk memasukkan makanan sampah pada tubuh kita?
Sebenarnya, saya sungguh merasa sedih melihat banyak orang tua yang sangat antusias mengajak anak – anaknya makan di restoran cepat saji, yang membuat saya sungguh sangat miris melihat pemandangan ini, mereka sangat antusias melihat anak – anaknya makan banyak di restoran cepat saji yang fast dan junk food itu. Mereka bahkan menyeroki anaknya untuk: “Ayo, makan lebih banyak lagi, tambah yah? Biar cepet gede”. Ingin rasanya saya berseru, bukan tambah ke atas pak tapi nambah ke samping. Saya tidak mengelak bahwa kenyataan itu saya temui pada orang tua saya juga he-he. Sehingga, nanti program Slow Food Youth Network (SFYN) ini kita bisa lakukan sosialisasi ke sekolah – sekolah SD atau SMP yang ada di kota untuk mengjarkan anak – anak kota bahaya keseringan makan – makanan cepat saji. Anak –anak di kota sungguh dekat dengan makanan itu, mungkin program yang didesain dengan ‘seperti dunia mereka’ akan membuat mereka menarik untuk mendengar, karena anak – anak sungguh mudah dipengaruhi he-he-he. Kemudian, ada pogram SFYN yang saya suka, yang memang sudah direalisasikan oleh SFYN di beberapa negara, yaitu DiscoSoup. DiscoSoup ini, mereka mengumpulkan sayuran – sayuran yang dibuang (bukan berarti yang busuk) oleh petani karena tidak layak dijual, mereka mengumpulnya dan mengolahnya menjadi Soup! dan Soup ini dibagi – bagikan ke pengunjung. Dan kenapa ada Disconya karena uniknya dalam pembuatan Soup ini, mereka berdisco sehinga disebut DiscoSoup. Semuanya harus dibuat dengan menyenangkan.
“Secara umum, konsep Slow Food menawarkan gaya hidup yang jauh lebih sehat dibandingkan Fast Food. Bukan hanya soal makanan, konsep bergerak lambat juga mencakup pola pikir yang lebih rileks dan tidak terburu-buru sehingga pikiran tidak mudah stress” (dari anonim).
Apa yang ingin saya sampaikan adalah tidak semua fast food itu buruk atau tidak semua fast food itu junk food. Anggapan ini menentang saya menerima konsep slow food yang saya kira makanan harus diproses lambat (slow cooking) dan mungkin disajikan dengan lambat juga (slow service). Anggapan sempit itu kemudian membenamkan pemikiran saya pada sesuatu yang lebih baik, yang lebih mulia, dan yang lebih berperikemusiaan. Logo dari organisasi Slow Food ini, yaitu siput, sebenarnya telah menjawab segala pertanyaan kalian mengenai apa itu Slow Food. Layaknya siput yang bergerak lambat, apa makanan harus diproses dan disajikan dengan lambat? Jawabannya adalah Tidak, bukan lambat yang tepat mendeskripsikan Slow Food melainkan tidak terburu – buru, apa bedanya? Anggapan saya bahwa lambat karena hal itu memang lambat, dan tidak memiliki kemampuan untuk bergerak cepat. Sedangkan tidak terburu – buru, walaupun kita bisa bergerak cepat namun kita tidak ingin bergerak cepat dan lebih kepada menikmati momen kini, menikmati proses. Begitulah esensi Slow Food, kalian diminta untuk memproses dan menyajikan makanan tidak terburu – buru dan lebih menikmati proses pembuatan makanan tersebut dan efeknya kalian lebih menghargai makanan itu. Contohnya, kalian membiarkan sayuran atau hewan ternak itu tumbuh secara alami tanpa menaburkan pestisida pada tanaman supaya Ia cepat tumbuh (organic farm) atau menyuntikkan hormone kegemukan pada hewan ternak itu sehingga bobotnya bertambah (bukan daging yang bertambah tetapi lemaknya-seperti fast food yang junk food). Kedua, kalian memproses makanan dengan menikmati pengolahan makanan. Seperti yang kalian mungkin sudah tau bahwa restoran cepat saji yang junk food itu memproses hewan ternak dengan cara tidak berperikemanusiaan, mereka tidak menyembelih hewan – hewan itu secara berperikemanusian melainkan mereka lebih menyukai cara penyiksaan sebelum membunuh hewan itu. Cara penyiksaan sungguh sangat keji : hewan ternak itu dibanting ke lantai atau ke dinding berkali – kali atau langsung dilemparkan ke mesin penggiling daging (tanpa dimatikan terlebih dahulu). Sehingga, dapat dibayangkan bagaimana tersiksanya hewan –hewan itu sebelum mati. Selain itu, kalian tidak tau bagian yang mana yang terkandung dalam daging yang kalian santap, karena bisa saja kalian telah memakan jeroan, kotoran, kuku, gigi dan beberapa bagian yang seharusnya dibuang. Intinya kita memproses makanan itu dengan lebih berperikemanusian. Ketiga, saat menyantap makanan pun kita tidak diminta terburu – buru, layaknya di restoran cepat saji (antrian sudah panjang hehe), kunyalah makanan secara perlahan hingga benar –benar lunak. Kenapa hal ini penting?, dengan makanan yang kunyah dengan perlahan (hingga benar – benar lunak) akan memudahkan perut kita untuk mencernanya lebih lanjut sehingga dikatakan akan mengurangi risiko obesitas.
Slow Food penuli akan tiga hal yang menjadikan filosofi organisasi ini, yakni: Good, Clean, and Fair. Good berarti makanan itu terasa enak dan segar serta merupakan bagian dari budaya lokal. Clean bermakna makanan itu diproduksi tanpa menggunakan bahan-bahan kimia yang mencemari lingkungan. Fair berarti harus ada keadilan dalam proses produksi atau cara mendapatkan makanan tersebut. Makanan yang masuk kategori Slow Food sudah pasti organik karena tidak menggunakan bahan kimia seperti pupuk kimia atau pestisida. Namun, tidak semua makanan organik masuk kategori Slow Food karena harus juga memenuhi konsep fair. Konsep fair dalam gerakan Slow Food diterjemahkan sebagai keadilan untuk semua. Pertama, keadilan untuk konsumen dan produsen. Artinya, dari sisi harga, bahan pangan tidak boleh dijual terlalu mahal sehingga memberatkan konsumen, namun juga tidak boleh terlalu murah karena bisa mematikan usaha produsen atau petani. Dan saya sangat tertarik untuk membangun sistem yang fair untuk produsen dan konsumen ini.
Begitulah kira – kira kawan – kawan yang ingin saya sampaikan mengenai slow food ini, saya menulisnya dengan apa adanya dan terburu - buru. Tujuan saya membuat tulisan ini, saya setuju dengan Slow Food dan saya sudah bertekad untuk memasuki organisasi ini (yang sebelumnya saya bimbang). Saya peduli apa yang saya makan, asal makanan, bagaimana pemrosesannya, dan menyantapnya. Sungguh kita selama ini tidak peduli dengan apa yang kita santap, asal makan saja. Makanan sesuatu yang sangat penting, sebelum seperti zaman sekarang, pada zaman batu dulu manusia hanya memikirkan pada apa yang bisa dimakan dan bagaimana mendapatkannya, namun dengan bertambahnya keinginan, perhatian terhadap makanan berkurang, asal perut kenyang itu tadi. Makanan memberikan efek pada kesehatan batin, sehingga orang mengambil sikap bahwa apabila kita mengonsumsi yang baik – baik kita akan menjadi pribadi yang baik dan sehat. Apakah kita masih tidak peduli pada apa yang kita makan? Tidakkah kita berpikir berkali – kali untuk memasukkan makanan sampah pada tubuh kita?
Sebenarnya, saya sungguh merasa sedih melihat banyak orang tua yang sangat antusias mengajak anak – anaknya makan di restoran cepat saji, yang membuat saya sungguh sangat miris melihat pemandangan ini, mereka sangat antusias melihat anak – anaknya makan banyak di restoran cepat saji yang fast dan junk food itu. Mereka bahkan menyeroki anaknya untuk: “Ayo, makan lebih banyak lagi, tambah yah? Biar cepet gede”. Ingin rasanya saya berseru, bukan tambah ke atas pak tapi nambah ke samping. Saya tidak mengelak bahwa kenyataan itu saya temui pada orang tua saya juga he-he. Sehingga, nanti program Slow Food Youth Network (SFYN) ini kita bisa lakukan sosialisasi ke sekolah – sekolah SD atau SMP yang ada di kota untuk mengjarkan anak – anak kota bahaya keseringan makan – makanan cepat saji. Anak –anak di kota sungguh dekat dengan makanan itu, mungkin program yang didesain dengan ‘seperti dunia mereka’ akan membuat mereka menarik untuk mendengar, karena anak – anak sungguh mudah dipengaruhi he-he-he. Kemudian, ada pogram SFYN yang saya suka, yang memang sudah direalisasikan oleh SFYN di beberapa negara, yaitu DiscoSoup. DiscoSoup ini, mereka mengumpulkan sayuran – sayuran yang dibuang (bukan berarti yang busuk) oleh petani karena tidak layak dijual, mereka mengumpulnya dan mengolahnya menjadi Soup! dan Soup ini dibagi – bagikan ke pengunjung. Dan kenapa ada Disconya karena uniknya dalam pembuatan Soup ini, mereka berdisco sehinga disebut DiscoSoup. Semuanya harus dibuat dengan menyenangkan.
“Secara umum, konsep Slow Food menawarkan gaya hidup yang jauh lebih sehat dibandingkan Fast Food. Bukan hanya soal makanan, konsep bergerak lambat juga mencakup pola pikir yang lebih rileks dan tidak terburu-buru sehingga pikiran tidak mudah stress” (dari anonim).









What is a good casino to play in Vegas? - DrMCD
BalasHapusHowever, a 이천 출장안마 good casino 전주 출장샵 should provide information about how to deposit, withdraw, and withdraw. For example, 동두천 출장샵 a casino 상주 출장안마 can offer a list of gambling 시흥 출장마사지